LAPORAN PENDAHULUAN
PERILAKU KEKERASAN
DI SUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS
KEPERAWATAN
JIWA :
NAMA : RIAN FEBRIDIANA
NIM : D0150042
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
STIKES BHAKTI MANDALA HUSADA SLAWI
2016
LAPORAN PENDAHULUAN
PERILAKU KEKERASAN
A.
MASALAH UTAMA
Perilaku Kekerasan
B.
PROSES TERJADINYA MASALAH
1. Pengertian
Perilaku kekerasan merupakan suatu
keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara
fisik baik secara diri sendiri, orang lain maupun lingkungan (Stuart dan
Sundeen, 1995).
Perilaku kekerasan atau agresif
merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai orang lain secara
fisik maupun psikologis (Berkowitz, dalam Harnawati, 1993).
Setiap aktivitas bila tidak dicegah
dapat mengarah pada kematian (Stuart dan Sundeen, 1998).
Suatu keadaan dimana individu
mengalami perilaku yang dapat melukai secara fisik baik terhadap diri sendiri
maupun orang lain (Towsend, 1998).
Suatu keadaan dimana klien mengalami
perilaku yang dapat membahayakan klien sendiri, lingkungan, termasuk orang lain
dan barang-barang (Maramis, 1998).
Perilaku kekerasan dapat dibagi dua
menjadi perilaku kekerasan secara verbal dan fisik (Ketner et al.,
1995).
Perilaku kekerasan adalah keadaan
dimana individu-individu beresiko menimbulkan bahaya langsung pada dirinya
sendiri ataupun orang lain (Carpenito, 2000).
Jadi, perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan
individu yang melakukan tindakan yang dapat membahayakan/mencederai diri
sendiri, orang lain bahkan dapat merusak lingkungan.
C.
ETIOLOGI
1.
Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan
menurut teori biologik, teori psikologi, dan teori sosiokultural yang
dijelaskan oleh Towsend (1996 dalam Purba dkk, 2008) adalah:
a) Teori
Biologik
Teori biologik terdiri dari beberapa
pandangan yang berpengaruh terhadap perilaku:
1)
Neurobiologik
Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls agresif:
sistem limbik, lobus frontal dan hypothalamus. Neurotransmitter juga mempunyai
peranan dalam memfasilitasi atau menghambat proses impuls agresif. Sistem
limbik merupakan sistem informasi, ekspresi, perilaku, dan memori. Apabila ada
gangguan pada sistem ini maka akan meningkatkan atau menurunkan potensial
perilaku kekerasan. Adanya gangguan pada lobus frontal maka individu tidak
mampu membuat keputusan, kerusakan pada penilaian, perilaku tidak sesuai, dan
agresif. Beragam komponen dari sistem neurologis mempunyai implikasi
memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem limbik terlambat dalam
menstimulasi timbulnya perilaku agresif. Pusat otak atas secara konstan
berinteraksi dengan pusat agresif.
2)
Biokimia
Berbagai neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine, dopamine,
asetikolin, dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi atau menghambat
impuls agresif. Teori ini sangat konsisten dengan fight atau flight yang
dikenalkan oleh Selye dalam teorinya tentang respons terhadap stress.
3)
Genetik
Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara perilaku agresif
dengan genetik karyotype XYY.
4)
Gangguan Otak
Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi perilaku agresif
dan tindak kekerasan. Tumor otak, khususnya yang menyerang sistem limbik dan
lobus temporal; trauma otak, yang menimbulkan perubahan serebral; dan
penyakit seperti ensefalitis, dan epilepsy, khususnya lobus temporal, terbukti
berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.
b) Teori
Psikologik
1)
Teori Psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk mendapatkan
kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat
konsep diri rendah. Agresi dan tindak kekerasan memberikan kekuatan dan
prestise yang dapat meningkatkan citra diri dan memberikan arti dalam
kehidupannya. Perilaku agresif dan perilaku kekerasan merupakan pengungkapan
secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri.
2)
Teori Pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka, biasanya
orang tua mereka sendiri. Contoh peran tersebut ditiru karena dipersepsikan
sebagai prestise atau berpengaruh, atau jika perilaku tersebut diikuti dengan
pujian yang positif. Anak memiliki persepsi ideal tentang orang tua mereka
selama tahap perkembangan awal. Namun, dengan perkembangan yang dialaminya,
mereka mulai meniru pola perilaku guru, teman, dan orang lain. Individu yang
dianiaya ketika masih kanak-kanak atau mempunyai orang tua yang mendisiplinkan
anak mereka dengan hukuman fisik akan cenderung untuk berperilaku kekerasan
setelah dewasa.
c) Teori
Sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan struktur sosial
terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang secara umum menerima
perilaku kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan masalahnya. Masyarakat juga
berpengaruh pada perilaku tindak kekerasan, apabila individu menyadari bahwa
kebutuhan dan keinginan mereka tidak dapat terpenuhi secara konstruktif.
Penduduk yang ramai /padat dan lingkungan yang ribut dapat berisiko untuk
perilaku kekerasan. Adanya keterbatasan sosial dapat menimbulkan kekerasan
dalam hidup individu.
2.
Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali
berkaitan dengan (Yosep, 2009):
a) Ekspresi
diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas seperti
dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian masal dan
sebagainya.
b) Ekspresi
dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi.
c) Kesulitan
dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak membiasakan dialog
untuk memecahkan masalah cenderung melalukan kekerasan dalam menyelesaikan
konflik.
d) Ketidaksiapan
seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan dirinya sebagai seorang
yang dewasa.
e) Adanya
riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan alkoholisme dan
tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi rasa frustasi.
f)
Kematian
anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan tahap
perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga.
D. TANDA DAN
GEJALA
1. Fisik : mata
melotot/pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, wajah memerah dan
tegang, serta postur tubuh kaku.
2. Verbal :
mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, berbicara dengan nada keras, kasar
dan ketus.
3. Perilaku :
menyerang orang lain, melukai diri sendiri/orang lain, merusak lingkungan,
amuk/agresif.
4. Emosi :
tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam, jengkel, tidak
berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan dan menuntut.
5. Intelektual
: mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan dan tidak jarang
mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme.
6. Spiritual :
merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tidak bermoral dan
kreativitas terhambat.
7. Sosial :
menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan dan sindiran.
8. Perhatian :
bolos, melarikan diri dan melakukan penyimpangan seksual.
(Nita Fitria, 2009. hal 140)
E. MEKANISME
KOPING
Perawat perlu mengidentifikasi
mekanisme koping klien, sehingga dapat membantu klien untuk mengembangkan
mekanisme koping yang kontruktif dalam mengekspresikan kemarahannya. Mekanisme
koping yang umum digunakan adalah mekanisme pertahanan ego seperti displacement,
sublimasi, proyeksi, represif, denial dan reaksi formasi.
Perilaku kekerasan biasanya diawali
dengan situasi berduka yang berkepanjangan dari seseorang karena ditinggal oleh
orang yang dianggap sangat berpengaruh dalam hidupnya. Bila kondisi tersebut
tidak teratasi, maka dapat menyebabkan seseorang rendah diri (harga diri
rendah), sehingga sulit untuk bergaul dengan orang lain. Bila ketidakmampuan
bergaul dengan orang lain ini tidak diatasi akan memunculkan halusinasi berupa
suara-suara atau bayangan yang meminta klien untuk melakukan tindak kekerasan.
Hal tersebut akan berdampak pada keselamatan dirinya dan orang lain (resiko
tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan).
Selain diakibatkan berduka yang
berkepanjangan, dukungan keluarga yang kurang baik dalam menghadapi kondisi
klien dapat mempengaruhi perkembangan klien (koping keluarga tidak efektif).
Hal ini tentunya menyebabkan klien sering keluar masuk RS atau menimbulkan
kekambuhan karena dukungan keluarga tidak maksimal (regimen terapeutik
inefektif).
(Nita Fitria, 2009. hal 145)
F. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan
pada klien dengan perilaku kekerasan meliputi penatalaksanaan keperawatan dan
penatalaksanaan medis.
1.
Penatalaksanaan Keperawatan
Penatalaksanaan keperawatan dapat dilakukan melalui
proses pendekatan keperawatan dan terapi modalitas.
a) Pendekatan
proses keperawatan
Penatalaksanaan keperawatan yang dilakukan berdasarkan
proses keperawatan, yaitu meliputi pengkajian keperawatan, diagnosa
keperawatan, rencana tindakan keperawatan serta evaluasi.
b) Terapi
Modalitas
Terapi kesehatan jiwa telah dipengaruhi oleh perubahan
terkini dalam perawatan kesehatan dan reimbursement, seperti pada semua area
kedokteran, keperawatan, dan disiplin ilmu keshatan terkait. Bagian ini secara singkat
menjelaskan modalitas terapi yang saat ini digunakan baik pada lingkungan,
rawat inap, maupun rawat jalan (Videbeck, 2001, hlm. 69).
c) Terapi
lingkungan
Begitu
pentingnya bagi perawat untuk mempertimbangkan lingkungan bagi semua klien
ketika mencoba mengurangi atau menghilangkan agresif. Aktivitas atau kelompok
yang direncanakan seperti permainan kartu, menonton dan mendiskusikan sebuah
film, atau diskusi informal memberikan klien kesempatan untuk membicarakan
peristiwa atau isu ketika klien tenang. Aktivitas juga melibatkan klien dalam
proses terapeutik dan meminimalkan kebosanan.
Penjadwalan
interaksi satu-satu dengan klien menunjukkan perhatian perawat yang tulus
terhadap klien dan kesiapan untuk mendengarkan masalah, pikiran, serta perasaan
klien. Mengetahui apa yang diharapkan dapat meningkatkan rasa aman klien
(Videbeck, 2001, hlm. 259).
d) Terapi
Kelompok
Pada terapi kelompok, klien berpartisipasi dalam sesi
bersama kelompok individu. Para anggota kelompok bertujuan sama dan diharapkan
memberi kontribusi kepada kelompok untuk membantu yang lain dan juga mendapat
bantuan dari yang lain. Peraturan kelompok ditetapkan dan harus dipatuhi oleh
semua anggota kelompok. Dengan menjadi anggota kelompok klien dapat,
mempelajari cara baru memandang masalah atau cara koping atau menyelesaikan
masalah dan juga membantunya mempelajari keterampilan interpersonal yang
penting (Videbeck, 2001, hlm. 70).
e) Terapi
keluarga
Terapi keluarga adalah bentuk terapi kelompok yang
mengikutsertakan klien dan anggota keluarganya. Tujuannya ialah memahami
bagaimana dinamika keluarga memengaruhi psikopatologi klien, memobilisasi
kekuatan dan sumber fungsional keluarga, merestrukturisasi gaya perilaku
keluarga yang maladaptif, dan menguatkan perilaku penyelesaian masalah keluarga
(Steinglass, 1995 dalam Videbeck, 2001, hlm. 71).
f) Terapi
individual
Psikoterapi individu adalah metode yang menimbulkan
perubahan pada individu dengan cara mengkaji perasaan, sikap, cara pikir, dan
perilakunya. Terapi ini memiliki hubungan personal antara ahli terapi dan
klien. Tujuan dari terapi individu yaitu, memahami diri dan perilaku mereka
sendiri, membuat hubungan personal, memperbaiki hubungan interpersonal, atau
berusaha lepas dari sakit hati atau ketidakbahagiaan.
Hubungan antara klien dan ahli terapi terbina melalui tahap yang sama dengan tahap hubungan perawat-klien: introduksi, kerja, dan terminasi. Upaya pengendalian biaya yang ditetapkan oleh organisasi pemeliharaan kesehatan dan lembaga asuransi lain mendorong upaya mempercepat klien ke fase kerja sehingga memperoleh manfaat maksimal yang mungkin dari terapi (Videbeck, 2001, hlm. 69).
Hubungan antara klien dan ahli terapi terbina melalui tahap yang sama dengan tahap hubungan perawat-klien: introduksi, kerja, dan terminasi. Upaya pengendalian biaya yang ditetapkan oleh organisasi pemeliharaan kesehatan dan lembaga asuransi lain mendorong upaya mempercepat klien ke fase kerja sehingga memperoleh manfaat maksimal yang mungkin dari terapi (Videbeck, 2001, hlm. 69).
2.
Penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan medis dapat dibagi menjadi dua metode,
yaitu metode psikofarmakologi dan metode psikososial.
a) Metode
Biologik
Berikut adalah beberapa metode biologik untuk
penatalaksanaan medis klien dengan perilaku kekerasan yaitu:
1)
Psikofarmakologi
Penggunaan obat-obatan untuk gangguan jiwa berkembang dari penemuan neurobiologi. Obat-obatan tersebut memengaruhi sistem saraf pusat (SSP) secara langsung dan selanjutnya memengaruhi perilaku, persepsi, pemikiran, dan emosi. (Videbeck, 2001, hlm. 22). Menurut Stuart dan Laraia (2005, hlm. 643), beberapa kategori obat yang digunakan untuk mengatasi perilaku kekerasan adalah sebagai berikut.
Penggunaan obat-obatan untuk gangguan jiwa berkembang dari penemuan neurobiologi. Obat-obatan tersebut memengaruhi sistem saraf pusat (SSP) secara langsung dan selanjutnya memengaruhi perilaku, persepsi, pemikiran, dan emosi. (Videbeck, 2001, hlm. 22). Menurut Stuart dan Laraia (2005, hlm. 643), beberapa kategori obat yang digunakan untuk mengatasi perilaku kekerasan adalah sebagai berikut.
- Antianxiety
dan Sedative Hipnotics
Obat-obatan ini dapat mengendalikan
agitasi yang akut. Benzodiazepines seperti Lorazepam dan Clonazepam, sering
digunakan didalam kedaruratan psikiatrik untuk menenangkan perlawanan klien.
Tapi obat ini direkomendasikan untuk dalam waktu lama karena dapat menyebabkan
kebingungan dan ketergantungan, juga bisa memperburuk gejala depresi.
Selanjutnya pada beberapa klien yang
mengalami disinhibiting effect dari Benzodiazepines dapat mengakibatkan
peningkatan perilaku agresif. Buspirone obat Antianxiety, efektif dalam
mengendalikan perilaku kekerasan yang berkaitan dengan kecemasan dan depresi.
Ini ditunjukkan dengan menurunnya perilaku agresif dan agitasi klien dengan
cedera kepala, demensia dan ’developmental disability’.
- Antidepressant
Penggunaan obat ini mampu mengontrol
impulsif dan perilaku agresif klien yang berkaitan dengan perubahan mood.
Amitriptyline dan Trazodone, efektif untuk menghilangkan agresivitas yang
berhubungan dengan cedera kepala dan gangguan mental organik.
(Dr.Budi Anna Keliat, Dkk. 2005)
G. POHON MASALAH
Resiko tinggi mencedarai
diri, orang lain, lingkungan
Perilaku kekerasan
|
PPS : Halusinasi
Isolasi sosial : menarik diri
|
Regimen terapeutik inefektif
|
Harga diri rendah kronis
|
Koping keluarga berduka disfungsional
Tidak
efektif
(Nita Fitria, 2009. hal
146)
H.
MASALAH
KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL
1.
Perilaku
Kekerasan.
2.
Resiko
mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
3.
Perubahan
persepsi sensori.
4.
Harga diri rendah
kronis.
5.
Isolasi
sosial.
6.
Berduka
fungsional.
7.
Penatalaksanaan
regimen terapeutik inefektif.
8.
Koping
keluarga inefektif.
(Nita Fitria, 2009. hal 146)
I. DATA YANG PERLU DIKAJI
1. Masalah
keperawatan:
a) Perilaku kekerasan
/ amuk
2.
Data yang
perlu dikaji pada masalah keperawatan perilaku kekerasan
Masalah Keperawatan
|
Data yang perlu di kaji
|
Perilaku kekerasan / amuk
|
Subyektif
:
· Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang.
· Klien suka membentak dan menyerang orang yang
mengusiknya jika sedang kesal atau marah.
· Riwayat perilaku kekerasan atau
gangguan jiwa lainnya.
Obyektif
· Mata merah, wajah agak merah.
· Nada suara tinggi dan keras, bicara menguasai.
· Ekspresi marah saat membicarakan orang, pandangan tajam.
· Merusak dan melempar barang‑barang
|
(Nita
Fitria, 2009. hal 147)\
J. RENCANA TINDAKAN
Diagnosa 1: perilaku kekerasan
Tujuan Umum : Klien terhindar dari mencederai diri,
orang lain dan
lingkungan.
Tujuan
Khusus :
1. Klien dapat
membina hubungan saling percaya.
Tindakan:
a)
Bina
hubungan saling percaya : salam terapeutik, empati, sebut nama perawat dan
jelaskan tujuan interaksi.
b)
Panggil
klien dengan nama panggilan yang disukai.
c)
Bicara
dengan sikap tenang, rileks dan tidak menantang.
2.
Klien dapat
mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
Tindakan:
a)
Beri
kesempatan mengungkapkan perasaan.
b)
Bantu klien
mengungkapkan perasaan jengkel / kesal.
c)
Dengarkan
ungkapan rasa marah dan perasaan bermusuhan klien dengan sikap tenang.
3.
Klien dapat
mengidentifikasi tanda‑tanda perilaku kekerasan.
Tindakan :
a) Anjurkan
klien mengungkapkan yang dialami dan dirasakan saat jengkel/kesal.
b) Observasi
tanda perilaku kekerasan.
c) Simpulkan bersama klien tanda‑tanda jengkel / kesal yang dialami klien.
4.
Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
Tindakan:
a) Anjurkan
mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
b) Bantu
bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
c) Tanyakan "apakah dengan cara yang dilakukan masalahnya selesai?"
5.
Klien dapat
mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.
Tindakan:
a) Bicarakan
akibat/kerugian dari cara yang dilakukan.
b) Bersama
klien menyimpulkan akibat dari cara yang digunakan.
c) Tanyakan
apakah ingin mempelajari cara baru yang sehat.
6. Klien dapat mendemonstrasikan cara fisik untuk mencegah perilaku kekerasan
Tindakan :
a) Diskuiskan kegiatan fisik yang biasa dilakukan klien
b) Beri pujian atas kegiatan fisik yang biasa di lakukan klien
c) Diskusikan dua cara fisik yang paling mudah dilakukan untuk mencegah
perilaku kekerasan, yaitu : tarik nafas dalam dan pukul kasur serta bantal
7. Klien dapat mendemostrasikan cara sosial untuk mencegah perilaku kekerasan
Tindakan :
a) Diskusikan cara bicara yang baik dengan klien
b) Beri contoh cara berbicara yang baik
c) Minta klien mengikuti contoh cara bicara yang baik
d) Diskusikan dengan klien tentang waktu dan kondisi cara bicara yang dapat
dilatih diruangan
8.
Klien dapat
mengidentifikasi cara konstruktif dalam berespon terhadap kemarahan.
Tindakan :
a) Beri pujian
jika mengetahui cara lain yang sehat.
b) Diskusikan
cara lain yang sehat.Secara fisik : tarik nafas dalam jika sedang kesal,
berolah raga, memukul bantal / kasur.
c) Secara
verbal : katakan bahwa anda sedang marah atau kesal / tersinggung
d) Secara
spiritual : berdo'a, sembahyang, memohon kepada Tuhan untuk diberi kesabaran.
9. Klien dapat mengidentifikasi cara mengontrol perilaku kekerasan.
Tindakan:
a)
Bantu
memilih cara yang paling tepat.
b)
Bantu
mengidentifikasi manfaat cara yang telah dipilih.
c)
Bantu
mensimulasikan cara yang telah dipilih.
d)
Beri
reinforcement positif atas keberhasilan yang dicapai dalam simulasi.
e)
Anjurkan
menggunakan cara yang telah dipilih saat jengkel / marah.
10. Klien mendapat dukungan dari keluarga.
Tindakan :
a)
Beri
pendidikan kesehatan tentang cara merawat klien melalui pertemuan keluarga.
b)
Beri
reinforcement positif atas keterlibatan keluarga.
11. Klien dapat
menggunakan obat dengan benar (sesuai program).
Tindakan:
a)
Diskusikan dengan klien tentang obat (nama, dosis, frekuensi, efek dan efek
samping).
b)
Bantu klien mengunakan obat dengan prinsip 5 benar (nama klien, obat,
dosis, cara dan waktu).
c)
Anjurkan untuk membicarakan efek dan efek samping obat yang dirasakan.
(Nita Fitria, 2009. hal 148)
DAFTAR PUSTAKA
Fitria, Nita. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan
Pendahuluan dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP) untuk 7
Diagnosis Keperawatan Jiwa Berat bagi S-1 Keperawatan. Jakarta: Salemba
Budi Anna, dkk. 2005. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa Ed.2 .
Jakarta : EGC
EmoticonEmoticon